Personal Portfolio of common things about woman and motherhood

Tuesday, December 13, 2016

How I Deal with Anger and Guilt


Sebelum punya anak saya sering sekali membayangkan kalau segala hal tentang mengurus anak pasti dapat dilewati dengan mudah. Termasuk tentang kesabaran menghadapi tingkah-tingkah mereka yang terkadang (bahkan seringkali) menyebalkan. Makanya dulu saya suka sinis kalau melihat ibu-ibu suka marah-marah sama anaknya, apalagi sampai berteriak atau bahkan memukul, haduh.
Tetapi setelah saya sendiri punya anak, jeng jeng! Ternyata semua tidak semudah yang pernah dibayangkan. Ternyata sulit sekali menghadapi anak yang terus bertumbuh dan berkembang, dan mereka semakin mengerti apa yang mereka suka dan tak suka. Satu hal yang paling pokok dan seringkali terlupa oleh para mama seperti saya, yaitu perspektif atau sudut pandang anak. Yang mereka tahu hanyalah mendapatkan apa yang mereka sukai, itu aja yang pokok. Tapi pada kenyataannya, seringkali hal yang mereka sukai itu justru hal-hal yang sebenarnya 'belum boleh' mereka pegang atau mainkan. Ini nih yang sering bikin mama kehilangan kesabaran dan berujung marah-marah. Kalau berdasarkan pengalaman saya, kemarahan akan terjadi apabila anak saya mulai bertingkah macam-macam sementara saya harus mengerjakan hal lain yang penting juga di waktu yang sama, dan tidak ada pilihan lain selain beraktivitas sambil menggendong. Contohnya, disaat saya harus memasak makanan untuk anak saya, tetapi dia justru cepat bosan duduk di stroller dan melempar mainan-mainan yang diberikan padahal baru dimainkan beberap menit saja. Akhirnya saya harus memasak sambil menggendong yang ternyata luar biasa melelahkannya. Yang paling menjengkelkan, misalnya nih saya lagi merebus kacang hijau atau kacang merah. Giliran udah matang dan hanya tinggal nunggu airnya berkurang aja, tiba-tiba bos kecil cranky karena bosan di dapur, saya ajaklah dia ke ruang nonton. Belum genap semenit di ruang nonton, bosan lagi dan pindah lagi ke ruang lain. Akhirnyaaa, saya lupa dengan si kacang hijau yang sudah matang, dan berakhir menyedihkan setelah tercium bau hangus yang tidak diinginkan. Kesal kan? Yang bikin kesal buat saya, saya memasak makanan kan maksudnya baik untuk kebutuhan si anak juga. Selain karena tidak ada pembantu, dengan memasak sendiri kita juga bisa belajar menangani makanan, dan memastikan kebersihan dalam proses memasak. Tapi sedih banget untuk melaksanakan proses memasak yang mulus ternyata susahnya minta ampun.
Contoh lain, setelah kesal dan lelah yang luarbiasa dalam proses memasak yang gagal tadi, tibalah saatnya untuk menidurkan anak karena sudah waktunya bobo siang. Saya pernah baca headline salah satu artikel bahwa tidak baik memaksa anak untuk tidur. Dalam situasi tertentu mungkin benar. Tapi coba dibayangkan, kalau nyata-nyata nampak anak kita udah ngantuk banget dan cranky banget, tidak mungkin kan kita biarin gitu aja? Saya sih menganggap mungkin setiap bayi akan melewati fase-fase 'susah diajak tidur siang' entah di usia berapa dalam masa kecil mereka. Jujur aja saya pernah ga kuat menahan emosi saat menidurkan anak dengan keadaan tubuh serasa mau pingsan, tapi dianya masih cranky dan banyak tingkah. Bahkan saya pernah berteriak dan nangis bombay sangking emosinya. :( Lebih sedih lagi, semua kelelahan dan kecapean itu harus saya hadapi sendiri karena suami yang bekerja di luar kota. Mau tidak mau saya berpikir, tidak ada yang dapat menolong saya. Yang bisa menolong saya hanya Tuhan dan diri saya sendiri. Selain dua contoh tersebut, masih banyak lagi kejadian-kejadian dalam mengurus bayi yang benar-benar melatih kesabaran kita sebagai perempuan.
The point that I want to share is, marah itu manusiawi. Tetapi bagaimana kita menyikapi kemarahan, itu yang terkadang tak manusiawi. Seperti saya yang pernah lepas kendali sampai teriak nangis di depan anak, akhirnya menimbulkan rasa bersalah yang lebih kelabu lagi untuk dihadapi setelahnya. Kemudian saya pahami bahwa there's no way motherhood without anger and guilt. Dalam menjalani peran sebagai ibu, kita tidak akan pernah bisa sempurna, dan akan selalu ada hal-hal yang membuat kita merasa bersalah.
So how I deal with anger and guilt as a mom?
1. Let it Out!
Pertama saya biarkan amarah saya keluar, biasanya dengan menangis. Tetapi saya memberi batasan waktu untuk menangis, misalnya cukup 5-10 menit, setelah itu;

2. No Matter What, The Show Must Go On!
KEMBALI KE KENYATAAN. Udah cukup nangisnya, sekarang saatnya back to reality. Saya menyadari bahwa bagaimanapun kondisi emosi kita, kenyataannya kita punya anak yang membutuhkan kita. Dan masih banyak sekali hal lain yang harus kita lakukan dalam mengurus anak kita. Jadi saya biasanya setelah sesi nangis bombay selesai (biasanya sih anak saya ikutan nangis bombay juga, jadi kita bareng deh heheheh), saya mulai membujuk anak saya dengan membawanya keluar, atau apapun untuk mengalihkan perhatiannya supaya ia berhenti menangis. Terkadang juga papa saya ikut turun tangan membantu menggendong kalau sudah mendengar saya ngomel atau anak saya nangis. Itu kalau papa ada di rumah. Kalau tidak ada, ya sayalah yang harus menangani.

3. Cooling Down
Netralkan Mood. Setelah reda, saya mulai mengajak bicara anak saya, dan saya meminta maaf. Saya fokus kepada kontak mata, supaya mendapat penuh perhatiannya. Lalu saya jelaskan menggunakan kata-kata seperti berbicara kepada oranf dewasa. Saya jelaskan kepada dia dengan nada lembut tetapi serius, bahwa mama sangat kelelahan, karena tidak sanggup melakukan semuanya sendiri. Terlepas dari ia paham atau tidak, saya tetap menjelaskan. Saya yakin dia mengerti maksud saya tanpa harus memahami arti dari ucapan saya. Setelah itu, keadaan cenderung lebih tenang, dan satu hal yang luarbiasa ajaib saya pelajari, bahwa bayi kita menangkap aura yang ada pada diri kita. Saat saya marah, emosi tidak stabil karena kelelahan, anak saya pasti ikutan cranky juga, bahkan nangis bombay seperti dijelasin tadi. Tetapi begitu saya kembali tenang, dia pun ikut tenang dan tidak mau terlepas dari pelukan mama! Hal ini selalu menjadi favorit saya sampai kapanpun.

4. Forgive Yourselft
Look Back and Revie. Setelah itu, saya tentu saja belum terbebas dari perasaan bersalah karena telanjur marah sama anak. Saya pernah membaca postingan Mamaofsnow tentang mom guilt, dan salah satu cara mengatasinya adalah stop feeling guilt! Berhentilah merasa bersalah karena itu tidak membuat kita menjadi ibu yang baik. Saya setuju sekali. Kemudian saya berpikir, bagaimana caranya saya berhenti merasa bersalah sedangkan kenyataannya saya sudah telanjur berbuat salah, dan kali ini disertai rasa takut kalau-kalau ke depan saya akan berbuat salah lagi dgn kesalahan yang sama. Nah, begini cara saya untuk stop feeling guilt. Pertama, mengampuni diri saya sendiri. Memaafkan diri sendiri penting banget. Saya paham batas kemampuan diri saya. Dan saya pun memahami bahwa marah adalah salah satu emosi dasar yang dimiliki manusia. Akhirnya saya berdamai dengan diri sendiri, dan saya memaafkan diri saya sendiri. Tapi harus diingat, makna paling utama dari mengampuni diri sendiri adalah komitmen untuk berusaha agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama di waktu yang akan datang. Biasanya dalam sesi ini saya berdoa, saya mohon ampun sama Tuhan, dan saya mohon diberikan kekuatan agar tidak mengulanginya lagi. Lalu saya berpikir lagi, bagaimana caranya agar saya tidak mengulanginya lagi? Lagi-lagi saya takut kalau situasi yang sama akan terulang. Yang saya lakukan adalah saya mencoba mencari tahu penyebab kemarahan saya. Yang membuat saya marah bukanlah tingkah anak saya. Tetapi justru diri saya sendiri yang membuat saya lekas marah. Fisik saya yang kelelahan, membuat kemampuan untuk fokus menjadi menurun. Saya sadar itulah penyebabnya. Saya sadar mungkin kalau konfisi fisik saya lebih bugar, pikiran saya akan lebih mudah untuk fokus, dan saya akan lebih baik pula dalam mengendalikan pikiran dan diri saya.

5. Fix it!
Setelah saya pahami penyebabnya, saya lalu mulai menyusun langkah-langkah untuk memperbaikinya. Misalnya, agar saya lebih bugar, saya mulai mengoreksi pola makan, pola tidur, serta aktivitas yang kurang baik untuk kebugarqn tubuh. Saya mulai memperhatikan kondisi tubuh misalnya dengan minum air putih lebih banyak, tidak melupakan jam makan. Dan lain-lain.

6. Be Mindful.
Nah ini yang paling penting, mindfulness dalam menjalani peran kita sebagai seorang ibu. Sebenarnya bukan sebagai ibu saja, tetapi juga sebagai seorang isteri, seorang anak, seorang pekerja, ataupun lebih luas lagi sebagai seorang wanita dan seorang manusia. Menurut pengalaman saya, kunci utama untuk mencapai mindfulness adalah rasa syukur. Itu yang utama dan terutama. Kita mesti bersyukur! Tapi sayangnya kita sering lupa bersyukur karena terlalu sibuk dengan keseharian yang melelahkan. Lalu bagaimana caranya untuk selalu ingat akan rasa syukur? Banyak! Banyak sekali caranya. Memang tidak bisa dipungkiri cara-cara yang sifatnya religius sesuai dengan ajaran agama yang kita anut bisa jadi cara yang cukup ampuh untuk mengingatkan kita agar selalu bersyukur. Misalnya dengan meluangkan beberapa menit setiap hari untuk jam doa, membaca kitab suci, dan lain-lain. Saya pernah juga menerapkan cara seperti itu, tetapi harus saya akui saya belum cukup konsisten dan disiplin dengan jam doa. Jadi saya siasati dengan memanfaatkan media sosial dan 'me-time' kecil yang saya dapatkan saat anak saya tidur. Saya membuat moodboard khusus tentang spiritual di platform Pinterest, dan diisi dengan postingan-postingan yang bisa membangkitkan moof positif dan memberi kesejukan. Tapi, saya tetap mengusahakan untuk membaca kitab suci secara langsung, karena memang mood yang didapatkan akan terasa berbeda. Hindari segala hal yang membangkitkan mood negatif. Atau bisa juga dengan menyediakan buku catatan kecil, yang bisa jadi semacam mood journal. Jadi tuliskan apa saja ide yang tiba-tiba terlintas di kepala, apapun itu, yang random sekalipun. Misalnya nih, saya suka mengadakan sesi photoshoot kecil-kecilan ketika anak saya ulang-bulan. Ketika di kepala saya tiba-tiba muncul ide untuk photoshoot, langsung saya tuliskan di buku notes, bila perlu lengkap sengan sketsanya. Menulis dan menggambar bisa jadi mood therapy lho ternyata. Oh iya, agak telat sih.. Tapi saya punya niat yang belum kesampaian yaitu membeli coloring book for adults yang katanya bisa jadi mood therapy juga. Dan sepertinya emang iya sih. Sekalian untuk merangsang naluri seni yang entah pergi kemana dari diri ini, hehehe. Oke, intinya, anger and guilt management dalam keseharian kita (terutama sebagai seorang ibu) itu sangat penting, dan membutuhkan usaha yang cukup keras, tetapi bukan tidak mungkin untuk kita capai. Kuncinya, kita hanya perlu melihat kembali ke dalam diri kita, itu aja. Lihat kembali ke dalam diri kita.
Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Post a Comment

Theme images by Jason Morrow. Powered by Blogger.

© Brilsya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena