Personal Portfolio of common things about woman and motherhood

Sunday, May 1, 2016

My Breastfeeding Journey (First Trimester)

Kebanyakan wanita pasti mempunyai impian, ingin menjadi ibu seperti apa ia nantinya. Bahkan jauh sebelum mereka menemukan pasangan hidup. Sama seperti saya, jauh sebelum hamil saya sering berkhayal, kalau sudah punya anak nanti saya ingin seperti ini dan seperti itu. Keinginan dalam diri kita sebagian besar dipengaruhi oleh apa yang kita lihat, dengar, dan apa yang ada di sekitar kita. 

Jauh sebelum hamil dan punya anak, saya banyak melihat dan mendengar tentang asi eksklusif. Dari televisi, misalnya para artis yang memberi asi eksklusif untuk anaknya. Dari internet, saya beberapa kali membaca artikel di rubrik kesehatan yang mengampanyekan pentingnya pemberian asi eksklusif. Saya terpengaruh, dan memutuskan untuk memberi asi eksklusif jika sudah punya anak nanti. 

Waktu berjalan beberapa tahun, dan saya hamil. Tapi ternyata banyak hal yang terlewatkan oleh saya tentang persiapan menjadi ibu menyusui. Ya, hal-hal sederhana seperti rajin membersihkan puting saat hamil tua, rajin melakukan pijat payudara, dan lain-lain, itu semua tidak saya lakukan saat hamil trimester ketiga. 

Singkat cerita, semua berjalan sebagaimana adanya dengan hanya modal niat sampai tiba saatnya saya melahirkan. Proses bersalin berlangsung secara normal dengan waktu tunggu sekitar 12-14 jam. Anak saya lahir sehat, lucu dan menggemaskan. Sesaat setelah ia keluar, saya merasa lega pastinya. Sesudah itu ia diambil untuk dibersihkan (tetapi belum dimandikan), dan saya bergulat dengan plasenta dan episiotomi. Proses mengejan yang saya lewati tidak begitu lama, kurang dari setengah jam setelah memasuki ruang bersalin, anak saya sudah lahir. Tetapi setelah ia keluar justru menjadi saat yang cukup menyiksa untuk saya. Entah kenapa, proses episiotomi terasa sangat menyakitkan bagi saya. Padahal banyak saya dengar cerita dari teman-teman, jika telah melalui sakitnya menunggu bukaan dan proses mengejan, maka proses penjahitan tidak akan terlalu terasa sakitnya. Tapi yang saya rasakan justru sebaliknya. Apalagi episiotomi tanpa bius. Terlebih saya harus menjalani plasenta manual. Sambil berteriak kesakitan saat episiotomi, saya hanya dikuatkan dengan memandang bayi saya yang mulai dibedong rapi oleh perawat lain, dan dihangatkan di bawah cahaya lampu yang letaknya agak jauh dari saya. Sampai semuanya selesai, saya dibersihkan. Kemudian bayi saya akhirnya dibaringkan di sebelah ibunya yang mulai kelelahan. Saya cium baunya yang imut sekali. Hahaha.. Itu menjadi bau terfavorit selama hidup. Kemudian saya disuruh untuk menyusuinya. Saya pun langsung menyodorkan payudara kiri ke si bayi. Dan hisapan pertamanya ternyata kencang sekali. Sesekali saya tarik keluar payudara saya untuk melihat apakah ada cairan yang keluar? Dan ternyata ada. Cairan bening kekuningan, kolostrum. Saya lega, meskipun tidak melalui proses IMD yang ideal, setidaknya kolostrum tidak terlewatkan oleh bayi saya. 

Setelah selesai saya susui, tibalah hal yang menyedihkan bagi saya. Tenaga medis menyarankan untuk memberi susu formula. Padahal sebelum melahirkan saya sudah mengkomunikasikan dengan suami dan keluarga, bahwa saya tidak ingin bayi diberi susu formula. Sedih dan marah rasanya saat itu. Tetapi saya kelelahan untuk berdebat dengan suami dan keluarga yang sepertinya terpengaruh dengan saran tenaga medis, dan saya merasa seperti kurang dipercaya. Alasannya klasik, karena bayi kuning. Di dalam kepala saat itu rasanya ingin saya teriak sekeras-kerasnya: "BAYI BISA BERTAHAN 2 HARI TANPA MAKAN MINUM SETELAH IA LAHIR!!!" Tapi saya kelelahan untuk berdebat. Karena kelelahan itu saya mulai pasrah dengan keadaan. Alhasil saya memandang dengan perasaan gemas bayi saya diberi susu formula menggunakan dot. Saya yang saat itu fanatik sekali dengan asi eksklusif justru kehilangan total niat untuk menyusui. Saya pikir, gagal total niat saya yang sudah lama ingin saya wujudkan. Momen melahirkan memang momen yang rentan stress bagi ibu. Ditambah kehilangan cukup banyak tenaga dan darah, pada saat pertama kali ke toilet saya merasa kelelahan dan mengantuk, dan saya sempat kehilangan kesadaran antara pingsan atau tertidur, dan ternyata saya jatuh lemas. Untung saja ditemani suami. Setelah itu saya hanya bisa berbaring dan tidur. Menyusui dikesampingkan dulu. Keadaan tubuh saya saat itu sungguh sangat tidak nyaman. Saat tertidur bayi saya diberi susu formula. Dan saya biarkan saja. Tetapi setelah bangun dan merasa agak enak, syukurlah pikiran saya kembali jernih meskipun secara fisik belum nyaman. Saya berpikir, yang terpenting adalah saya tetap berusaha memenuhi hak anak saya, yaitu memperoleh asi. Soal susu formula, ya sudahlah saya menjadi lebih lunak. Setelah itu saya susui bayi saya setiap ia bangun. Walaupun asi yang keluar mungkin hanya satu sendok teh atau bahkan kurang. Jadi setiap habis menyusu ia diberi susu formula. 

Setelah beberapa kali menyusu, saya mulai merasakan perih pada puting payudara. Saya pernah membaca bahwa puting lecet seringkali disebabkan perlekatan (latch on) yang tidak tepat. Tetapi sejak menyusu pertama kali saya perhatikan tidak ada masalah dengan perlekatan antara mulut bayi dan payudara saya. Lalu kenapa lecet? Ternyata permasalahan ada pada bentuk puting payudara saya. Memang pernah juga saya baca, bahwa ibu dengan bentuk puting apapun bisa menyusui, karena bayi menyusu pada areola, bukan pada puting. Dengan kata lain bentuk puting bukan menjadi halangan untuk menyusui. Tetapi pada kenyataanya, ibu dengan bentuk puting normal akan lebih mudah menyusui anaknya dibanding ibu dengan puting datar, cekung ke dalam, dan lain-lain. Dan ternyata bentuk puting saya memang tidak seperti puting normal. Lebih pendek, bahkan seringkali tak terlihat timbul puting. Ibu dengan permasalahan puting seperti saya butuh usaha dan penyesuaian lebih untuk menyusui. Lalu mengapa lecet? Karena meskipun perlekatan sudah benar, puting pendek saya itu belum mencapai langit-langit lunak dalam mulut bayi saya. Lubang-lubang pada puting juga masih tersumbat karena jarang dibersihkan sedari hamil. Ditambah hisapan yang kencang dan volume asi yang keluar masih sedikit, jadi tidak ada cairan yang melembabkan dan mengurangi rasa sakit ketika menyusui. Dan saya katakan bahwa menyusui dengan puting lecet rasanya sangat mengerikan. Periiiihhh sekali. Tidak pernah saya rasakan yang seperih itu dalam hidup saya. 

Setelah sehari bayi saya lahir, pagi berikutnya tiba saatnya ia harus dimandikan oleh perawat di ruang mandi bayi. Dan ternyata ditemukan tanda alergi kemerah-merahan di tubuhnya. Perawat sempat bertanya apakah anak saya kena gigit semut atau apa, dan kami jawab tidak. Lalu mereka sendiri yang mengasumsikan bahwa anak saya alergi terhadap susu formula. Aaah terima kasih ya Tuhan. Saya senang sekali. Saat itu tekad saya kembali bulat untuk memberi asi secara full. WALAUPUN, puting lecet masih menghantui dan perihnya semakin terasa. Saya menyusui sambil meringis, menahan perihnya puting lecet, ditambah sakitnya jahitan, saya sulit sekali untuk duduk nyaman. Sampai-sampai saya pernah menangis sesenggukan karena stress, merasa tertodong harus menyusui dengan perih yang luarbiasa. Jujur saja, momen menyusui saat itu menjadi yang paling horor untuk saya. Saya sempat berpikir, kok katanya saat menyusui bisa menimbulkan rasa bahagia karena hormon oksitosin atau apalah itu namanya. Tapi kalau kesakitan begini bagaimana mau bahagia. Yang ada justru stress. 

Namun di tengah stress tersebut asi saya justru mulai melimpah. Seperti yang sudah saya bilang di awal, saya menyusui hanya modal niat. Jadi menjelang melahirkan saya belum tahu ada benda-benda seperti breast pad, breast shell, nipple shield, dan lain-lain. Setelah Erich anak saya berumur 4 hari, saya mulai kewalahan dengan asi yang tumpah-tumpah. Ya tumpah-tumpah. Asi yang keluar banyak sekali, baju selalu basah, tempat tidur juga sering basah, bukan karena ompolan bayi tapi karena tumpahan air susu ibunya. Bahkan pernah sekali saya menyusui bayi tengah malam, dan saya terbangun subuhnya karena kedinginan. Setelah dicek ternyata tempat tidur yang saya tiduri sudah basah kuyup kena tumpahan asi. Setelah mengenal breast pad, saya cukup terbantu untuk mengatasi masalah leaked. Meskipun penggunaan breast pad saat itu boros sekali karena asi yang tumpah benar-benar tak terkontrol. Tapi saat itu saya belum menyimpan asi perahan, karena tidak ada tempat untuk menyimpan. Kulkas di rumah hanya satu, dan freezernya sering dipakai untuk menyimpan ikan, daging dan bahan makanan lain. Sebenarnya ada kulkas milik suami di tempat kosnya, tapi karena kewalahan mengurus bayi kulkas itu belum sempat diambil. Jadi saya selalu menyusu langsung.

Di satu sisi saya sangat bersyukur, karena produksi asi melimpah. Saya senang asi saya banyak. Tapi di sisi lain saya mengeluh, karena puting lecet masih menghantui. Seminggu, dua minggu.. Keadaan masih sama. Saya masih kesakitan saat menyusui. Bahkan sampai berderai-derai airmata. Belum lagi demam karena payudara bengkak. Suami seringkali hanya bisa menatap dengan wajah kasihan. Dia juga bingung mau buat apa, sementara saya hanya bisa menangis menahan sakit, atau tidak bersuara tetapi airmata begitu deras mengalir. 

Saya pernah membaca blog mbak Andra Alodita, tentang breastfeeding journey yang dia alami juga tidak mudah. Ia bercerita bahwa 3 minggu pertama merupakan masa terberat yang dia alami. Dan saya sangat setuju dengan itu. Menyusui di masa nifas itu berat sekali, butuh mental baja. Saat nifas kondisi tubuh saya belum pulih total. Tenaga serasa kurang, ditambah harus mengurus bayi baru lahir yang butuh kesabaran ekstra, harus bangun tengah malam untuk ganti popok, dan menyusui dengan horornya puting lecet yang menghantui. Keluarga sempat kasihan dan menyuruh saya untuk membeli susu formula yang bahan dasarnya kedelai, sebagai pengganti jika alergi susu sapi. Tetapi kali ini saya tegas menolak. Saya ingin anak saya mendapat asi sepenuhnya. Itu haknya, dan saya ingin penuhi haknya. This is what I want. Let me keep trying. Kalau sudah benar-benar tidak mampu baru saya menyerah. Dan saya bersyukur di tengah-tengah stress yang lumayan menyita energi itu, produksi asi saya tetap lancar. Kembali ke modal niat.

Setelah lewat masa nifas, keadaan tubuh saya mulai pulih dan saya merasa lebih baik. Namun mengapa masalah lecet pada puting masih saja ada? Sempat sembuh seminggu, kemudian lecet lagi. Alhasil saya harus menyusui sambil meringis-ringis lagi. Saya sempat mengganti merk breastpad, memakai nipple cream, tapi hasilnya sama saja. Ternyata masalah kali ini adalah posisi menyusui yang kurang tepat, sehingga perlekatannya juga kurang tepat. Aahh apa-apaan ini? Kenapa baru sekarang bermasalah di perlekatan? Tapi mama sering cerita bahwa teman-temannya dulu juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih parah. Ada yang putingnya hampir putus. Sabar saja katanya. Terus saja disusui nanti juga sembuh sendiri. 

Entah darimana saya dapat kesabaran dan kekuatan untuk tetap menyusui dengan keadaan demikian. Mungkin modal niat yang saya katakan tadi. Saya ingin penuhi hak anak saya, itu saja.Tetapi perlahan-lahan, masalah lecet mulai sembuh seiring waktu. Puting tersumbat mulai bersih, posisi menyusu juga semakin terlatih. Semua karena saya tetap menyusui hingga saya dan anak saya sama-sama terbiasa. That's all because we're keep trying.

Sampai sekarang anak saya berusia tiga bulan lebih, saya masih memberi dia asi penuh. Bayangkan saya harus melalui penyesuaian selama 3 bulan. But it's all worth it. Memang benar kata orang yang lebih berpengalaman. Tatapan bayi saat menyusu itu tidak tergantikan oleh apapun. Saya bahagia bisa memberi asi penuh kepadanya, dan saya bersyukur diberkahi asi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan anak saya. Saya juga terus berdoa agar bisa menyusui anak saya hingga 2 tahun. 

Lewat tulisan ini saya hanya ingin berbagi pengalaman. Bahwa menyusui itu memang tidak mudah. Setia ibu pasti punya kesulitan yang berbeda dan punya cara berbeda pula dalam memberikan yang terbaik bagi anaknya. Saya mengapresiasi para ibu yang bisa menyusui anaknya. Tetapi saya juga tidak menghakimi bahwa ibu yang tidak menyusui anaknya bukanlah ibu yang baik bagi anaknya. Selama seorang ibu berjuang untuk anaknya,  maka ia adalah ibu terbaik bagi anaknya. Apapun bentuk perjuangan ibu tersebut, sejauh itu untuk kebaikan anaknya. Dan dalam perspektif saya, menyusui merupakan salah satu bentuk perjuangan yang dapat saya usahakan untuk anak saya. Dan akan terus saya lakukan.

Untuk para ibu yang belum bisa menyusui anak-anaknya dan merasa tersudutkan dengan judgement orang tentang anda, don't worry moms. You're still moms. Saya tahu bahwa di luar sana masih banyak ibu yang belum bisa menyusui karena mungkin terpapar faktor stress yang tidak kita alami dan mengerti. Tetapi perjuangan anda mengandung selama 9 bulan pun sudah sangat patut dihargai, karena saya percaya setiap ibu pasti punya kesulitan yang berbeda. 

Dan untuk para ibu yang bisa menyusui anaknya (termasuk saya), kita patut bersyukur karena kesempatan berharga itu. Dan kita patut bangga atas perjuangan kita untuk bisa menyusui. Tapi kita tidak perlu menghakimi ibu-ibu lain yang tidak seberuntung kita. Walaupun mereka tidak seperti kita, tetapi mereka punya kehebatan lain yang mungkin tidak kita lihat. 

Positive mind merupakan kunci utama untuk para ibu, baik yang menyusui ataupun tidak. Pikiran positif akan membuat kita lebih mudah merasa bahagia. Dan ibu yang bahagia adalah ibu yang terbaik untuk anaknya, entah ia ibu menyusui atau bukan. Happy mommy healthy baby. So just be positive, moms!

0 komentar:

Post a Comment

Theme images by Jason Morrow. Powered by Blogger.

© Brilsya, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena